Mas Pur Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw!

Home » Sejarah » Tokoh Pejuang Bangsa Indonesia Pada Masa 1948-1965

Tokoh Pejuang Bangsa Indonesia Pada Masa 1948-1965

3 min read

Peranan Tokoh Pejuang Bangsa Indonesia Pada Masa 1948-1965,- Para pendahulu kita telah membuktikan betapa pentingnya keutuhan wilayah dan bangsa indonesia. Bukti tersebut adalah adannya perjuangan menegakkan dan menjaga keutuhan wilayah dan bangsa indonesia. Mereka telah berjuang untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat harus kita pertahankan agar dapat mencapai kemakmuran dan keadilan.

Perujangan bangsa indonesia dalam menegakkan keutuhan wilayah dan bangsa dibagi menjadi dua yaitu perjuangan melawan ancaman dari luar dan perjuangan melawan ancaman dari dalam. Peranan tokoh yang berjuangan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara pada masa 1948-1965 yaitu sebagai berikut.

1. Jenderal Gatot Soebroto

Jenderal Gatot Soebroto (lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober 1907 – Meninggal di Jakarta, 11 Juni 1962 pada umur 54 tahun) adalah tokoh perjuangan militer indonesia dalam merebut kemerdakaan dan juga pahlawan nasional indonesia. Ia dimakamkan di Ungaran, kabupaten Semarang. Pada tahun 1962, Soebroto dinobatkan sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut SSK Presiden RI No.222 tanggal 18 Juni 1962. Ia juga merupakan aah angkat daro Bob Hasan. Seorang pengusaha ternama dan mantan menteri Indonesia pada era Soeharto.

Setamat pendidikan dasar di HIS, Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun memilih menjdai pegawai. Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki sekolah militer KNIL di Magelang. Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Subroto pun mengikuti pendidikan PETA di Bogor. Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan kariernya berlanjut hingga sebagai Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan Sekitarnya.

Setelah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan, pada tahun 1949 Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Tentara dan Teritorium IV I Diponegoro. Pada tahun 1953, ia sempat mengundurkan diri dari dinas militer, namun tiga tahun kemudian diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjdai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).

Ia adalah penggagas akan perlunya sebuah akademi militer gabungan (AD, AU dan AL) untuk membina para perwira muda. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pembentukan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) pada tahun 1965.

2. Abdul Haris Nasution

Jenderal Besar TNI Purn.Abdul Haris Nasution lahir di kotanopan, Sumatra Utara pada tanggal 3 Desember 1918. Setelah menamatkan pendidikan di Hollands Inlandse School (HIS) di Kotanopan, Nasution diterima di Holland Inlandse Kweekschool (HIK) Bukittinggi, sekolah guru yang disebut dengan “Sekolah Raja”. Nasution adalah angkatan terakhir di HIK bukittinggi karena sesudahnya sekolah ini ditutup akibat politik penghematan yang dijalankan oleh pemerintah Belanda.

Ketika belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia tahun 1940, Nasution ikut mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada tahun 1942, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada maret 1946. ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi wakil panglima besar TNI (Orang kedua setelh Jenderal Soedirman) dan diangkat menjadi Kepada Staf TNI Angkatan Darat pada akhir tahun 1949.

Sebagai tokoh seorang panglima militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang Gerilya. Pak Nas demkian sebutanya dikenal juga sebagai penggagas difungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan didalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi tersebut kedalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang Gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentas of Guerrilla Warfare.

Masa tugasnya sebagai panglima siliwangi bagi Nasution merupakan tonggak dalam kehidupan pribadinya. Ia melamar sunarti, Putri Oondokusumo yang sudah dikenalnya sejak menjadi taruna Akademi Militer di tahun 1940. Sunarti dinikahinya tanggal 30 Mei 1947 hingga lahirlah dua orang putri. Putri pertama lahir pada tahun 1952 dan yang kedua lahir pada tahun 1960. Putri yang kedua ini, Ade Irma Suryani Nasution, tewas pada usia lima tahun saat peristiwa G 30 S/PKI.

3. Letkol Slamet Riyadi

Menjelang proklamasi 1945 Slamet Riyadi melarikan sebuah kapal kayu milik jepang untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Setelah diangkat sebagai Komandan Batalyon Resimen I Divisi X ia berhasil menggalang para pemuda, menghimpun kekuatan pejuang dari pemuda-pemuda terlatih eks Peta/Heiho/Kaigun dan merekrutnya dalam kekuatan setingkat Batalyon, yang disiapkan untuk mempelopori perebutan kekuasaan politik dan militer di kota Solo dari tangan Jepang.

Slamet Riyadi kemudian diangkat menjadi komandan Batalyon XIV dibawah divisi IV. Panglima Divisi IV adalah Mayor Jenderal Soetarto dan divisi ini dikenal dengan nama Divisi penembahan Senopati. Batalyon XIV merupakan kesatuan militer yang dibanggakan. Pasukannya terkenal dengan sebutan anak buat “Pak Met”. Selama agresi Belanda II, pasukannya sangat aktif melakukan serangan gerilya terhadap kedudukan militer Belanda, pertempran demi pertempuran membuat sulit pasukan Belanda dalam menghadapi taktik gerilya yang dijalankan Slamet Riyadi. Namanya mulai disebut-sebut karena hampir di setiap perlawanan di kota Solo selalu berada dalam komandonya. Sewaktu pecah pemberontakan PKI Madiun. Batalyon Slamet Riyadi sedang berada di luar kota Solo, yang kemudian diperintahkan secara langsung oleh Gubernur Militer II – Kolonel Gatot Soebroto untuk melakukan penumpasan ke arah Utara, berdampingan dengan pasukan lainnya, operasi ini berjalan dengan gemilang.

Pada tanggal 10 juli 1950, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, ditugaskan dalam operasi penumpasan RMS di Maluku dan Andi Azis di Sulawesi Selatan bersama Panglima TT VII – Kolonel Kawilarang. Dalam tugas inilah ia gugur muda dalam usia 23 tahun. Ia tertembak di depan benteng Victoria setelah berusaha merebutnya.

Itulah 3 tokoh pejuang bangsa Indonesia yang sangat berperan pada tahun 1948-1965, Demikian artikel yang dapat saya bagikan dan terima kasih.

Mas Pur Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *