Mas Pur Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw!

Home » Sejarah » Sejarah Sarekat Islam dan Tujuan Sarekat Islam

Sejarah Sarekat Islam dan Tujuan Sarekat Islam

3 min read

Sarekat Islam (SI) adalah gerakan nasionalis, demokratis, dan ekonomis serta berasaskan Islam sebagai haluan kooperatif. Organisasi ini didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911 dengan nama awal berdirinya yaitu Sarekat Dagang Islam. H. Samanhudi adalah seorang pedagang batik dari Laweyan Solo.

Organisasi Sarekat Dagang Islam didasarkan ada dua hal yaitu: agama (agam Islam), dan ekonomi, yakni menghimpun dan memperkuat kemampuan para pedagang Islam agar dapat bersaing dengan para pedagang asing seperti pedagang Tionghoa dan India.

Baca: Peranan Organisasi Islam Dalam Kemerdekaan Indonesia

Atas usul HOS Cokroaminoto, pada tanggal 10 September 1912 kata dagang dalam Sarekat Dagang Islam (SDI) dihilangkan, sehingga hanya menjadi Sarekat Islam saja. Hal ini dimaksudkan agar gerak ruang organisasi tidak terbatas hanya dalam bidang dagangan saja, tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya. Nama dan visi baru itu tercermin dalam Akte Notaris yang dibuat pada tanggal 10 September 1912.

Tujuan Sarekat Islam

Dalam akta notaris tersebut disebutkan tujuan SI, yaitu sebagai berikut.

  • Memajukan perdagangan
  • Membantu para anggotanya yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha (permodalan)
  • Memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk pribumi
  • Memajukan kehidupan agama Islam.
Pada tahun 1913, organisasi ini melaksanakan kongres pertamanya di Surabaya. Dalam kongres tersebut diputuskan hal-hal sebagai berikut.
  1. Sarekat Islam bukan merupakan partai politik.
  2. Sarekat Islam tidak bermaksud melawan pemerintah Belanda
  3. Hos Cokroaminoto dipilih sebagai ketua Sarekat Islam (SI) dan menetapkan Surabaya sebagai pusat organisasi.
Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat yang beragama Islam. Di bawah H.O.S. Cokroaminoto, SI mengalami perkembangan pesat. Selain di Surabaya yang menjadi pusatnya, cabang-cabang lain juga didirikan di kota-kota lain seperti Solo, Semarang, dan Cirebon. Arah perjuangan pun diperjelas, yaitu memperkuat basis ekonomi rakyat agar kaum pribumi lebih mampu bersaing dan bebas dari ketergantungan ekonomi terhadap bangsa-bangsa asing.

Pada tahun 1915, Sentral Sarekat Islam (SSI) dibentuk dan berkedudukan di Surabaya. SSI adalah badan induk yang bertugas mengkoordinasikan serta memajukan organisasi SI daerah (lokal). SSI berkedudukan seperti pengurus besar SI. Pembentukan SSI tidak terlepas dari kenyataan bahwa organisasi SI lokal semakin banyak dan karena itu perlu ada sebuah badan induk tempat organisasi SI lokal tersebut bernaung.
Pada tanggal 17-24 Juni 1916 diadakan kongres SI nasional pertama di Bandung, yang dihadiri oleh 80 SI lokal dengan anggota yang lebih mencapai 360.000 orang anggota. Dalam kongres tersebut disepakati istilah “nasional”. Artinya, SI menganggap perlunya semua suku bangsa di Indonesia ini bersatu dan membentuk satu persatuan bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Hasil kongres ini menunjukkan bahwa SI kemudian menjadi organisasi yang berhaluan politis kendati dalam anggaran dasarnya SI bukan partai politik. Karakteristik politisnya tampak dari sikapnya menentang secara terbuka praktik-praktik ketidakadilan akibat sistem kapitalisme serta penindasan terhadap rakyat kecil yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal ini yang membuat SI memiliki jumlah anggota yang semakin banyak.
Di sisi lain, sikap ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda. Itu pulalah yang menjadi alasan Gubernur Jenderal Idenburg menolak pengajuan SI sebagai organisasi yang berbadan hukum, kecuali untuk SI daerah atau SI lokal. Namun seiring berkembangan waktu, SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret 1916.
Setelah pemerintah Kolonial memperbolehkan berdirinya partai poltik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan Cokroaminoto dan Abdul Muis sebagai wakil SSI di Volksraad pada tahun 1917. Di Volksraad, keduanya aktif dalam Konsentrasi Radikal.
Sikap kritis SI terhadap praktik kapitalisme serta komitmennya memperjuangkan rakyat kecil menarik perhatian Indiche Social Democratische Vereeniging (ISDV) yang berhaluan marxis-komunis. Organisasi pimpinan Sneevliet (Belanda) ini kemudian menyusup (infiltrate) ke SI, di mana dua anggota SI yang militan dan berbakat berhasil direkrut, yaitu Semaun dan Darsono. Kelak, bergabung juga Tan Malaka dan Alimin. Awalnya, pimpinan SI tidak menaruh curiga karena menganggap garis dasar perjuangan SI dan ISDV sama.
Dalam perkembangan selanjutnya, anggota ISDV di SI gencar melancarkan kritik terhadap SI. Mereka mengkritik sikap SI yang kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda serta keikutsertakan SI dalam kampanye Indie weerbar (pertahanan Hindia). ISDV menghendaki agar SI mengambil sikap nonkooperatif atau tidak bekerja sama dengan Belanda, dan dalam kerangka itu juga berarti SI tidak ikut mendukung Indie weerbar.
Maka, dengan lahirnya ISDV muncul dua kubu dalam SI, yaitu
  • Kubu nasionalis religius (nasionalis keagamaan) atau dikenal dengan SI putih, dengan asas perjuangan Islam di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto.
  • Kubu ekonomi dogmatis yang dikenal dengan nama SI Merah, dengan haluan sosialis kiri (komunisme) di bawah pimpinan Semaun dan Darsono.
Demi menegakkan disiplin organisasi, Semaun dan smua pengurus yang berhaluan kiri kemudian dikeluarkan dari keanggotaan SI. Mereka mendirikan Perserikatan Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920, yang kemudian diubah lagi namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1924. Pada tahun 1923, Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PGKB) yang didirikan pada tahun 1919 pecah. Sebagian memisahkan diri menjadi Revolutionairre Vakcantrale di bawah payung PKI.
Dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 di Madiun, Sarekat Islam mengganti namanya menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pergantian nama dilakukan karena adanya anggapan bahwa ikatan dalam SI lemah. Perpecahan dalam PGKB dianggap mencerminkan hal tersebut.
Dalam rangka memperkuat SI, Cokroaminoto dan Abdul Muis berupaya mempersatukan golongan muslim di luar Jawa. Karena melakukan sejumlah propaganda anti pemerintah, keduanya dikenakan larangan pemerintah kolonial untuk melakukan kunjungan ke daerah-daerah tersebut.
Dalam kongresnya pada tahun 1926, PSI menerapkan politik hijrah atau bersikap nonkooperatif terhadap pemerintah kolonial. dengan alasan pemerintah kolonial mengabaikan hak-hak ribumi. Karena perubahan garis politik ini, Cokroaminoto menyatakan menolak ketika diangkat menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927. PSI berganti nama lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929.
Pada tahun 1930, PSII mengalami kemerosotan akibat perpecahan baru, yaitu terbagi menjadi tiga partai, yaitu PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan Partai Sarekat Islam Indonesia. Perpecahan itu terjadi akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai. Aktivitas partai ini terhenti sejak Jepang menduduki wilayah Indonesia.
Mas Pur Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *