Partai Nasional Indonesia (PNI) – Semangat nasionalisme berkembang cepat di Indonesia dan tumbuh sebagai gerakan nasional yang radikal dan militan. Seiring dengan gejala tersebut, pada tahun 1925 berdiri sebuah organisasi yang bernama Algemeene Studie Club di Bandung yang diprakarasai oleh Ir. Soekarno.
Soekarno berpendapat bahwa ideologi-ideologi yang berkembang di Indonesia seperti nasionalisme, islamisme, dan Marxisme dapat digunakan sebagai alat pemersatu bangsa. Atas inisiatifnya juga, perkumpulan ini kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia pada tahun 1927 dengan Soekarno sebagai ketuanya. Pimpinanya berjumlah 8 (delapan) orang, yaitu dr. Cipto Mengunkusumo, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskak, Mr. Sunaryo, Mr. Budiarto, Dr. Samsi, dan Ir. Soekarno. Kebanyakan dari mereka adalah bekas anggota Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang baru kembali ke tanah air.
Perserikatan ini secara tegas bermaksud menjadi wadah bagi para nasionalis untuk memperjuangkan negara Indonesia yang merdeka. Untuk mencapai tujuan itu, perserikatan ini memadukan semangat bangsa yang telah dirintis terlebih dahulu oleh organisasi-organisasi pergerakan yang sudah ada, termasuk kaum nasionalis yang revolusioner. Organisasi ini kemudian mengganti namanya menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Asas Partai Nasional Indonesia
PNI berlandaskan pada 3 (tiga) asas, yaitu sebagai berikut.
- Self-help, yakni prinsip menolong diri sendiri, yang didasari keyakinan bahwa bangsa Indonesia dengan kekuatan sendiri mampu memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang telah rusak oleh penjajah.
- Nonkooperatif, yakni tidak mengadakan kerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.
- Marhaenisme, yakni mengentaskan massa dari kemiskinan dan kesengsaraan.
Dalam rangka memperkuat organisasi dan memperbesar pengaruhnya di kalangan masyarakat, organisasi ini memiliki dua cara, yaitu:
- Kegiatan internal partai, yang ditujukan untuk melakukan usaha-usaha seperti menyelenggarakan khusus, mendirikan sekolah, mendirikan bank, dan lain-lain.
- Kegiatan eksternal, dalam bentuk mengadakan rapat-rapat umum, menerbitkan surat kabar seperti “Persatoean Indonesia” di Jakarta dan “Benteng Priangan” di Bandung.
Melalui dua cara tersebut, PNI dalam waktu singkat menarik perhatian masyarakat. Belanda pun merasa khawatir dengan perkembangan partai ini serta mengingatkan para pemimpinnnya untuk menahan diri dan tidka melakukan propaganda yang mengancam ketertiban umum.
Menjelang akhir tahun 1929, tiba-tiba muncul desas-desus bahwa PNI akan mengdakan pemberontakan pada awal tahun 1930. Pemerintah kolonial Belanda yang terpengaruh desas-desus tersebut melakukan penggeledahan besar-besaran serta menangkap empat pemimpin PNI, yaitu Ir. Soekarno, Maskun, Gatot Mangunprojo, dan Supriadinata. Mereka kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung dengan tuduhan: mengambil bagian dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan menjalankan kejahatan, selain usaha yang mengarah pada penggulingan kekuasaan Hindia-Belanda.
Di pengadilan, Soekarno membacakan pembelaan (pleodi) yang berjudul Indonesia Menggugat. Dalam pleidoi itu, ia menandaskan bahwa “pergerakan nasional di Indonesia bukanlah buatan kaum intelektual dan komunis saja, melainkan juga reaksi umum yang wajar dari masyarakat jajahan yang di dalam batinnya merasa telah merdeka. Revolusi Indonesia adalah revolusi zaman sekarang, bukan revolusinya sebagaian besar rakyat dunia yang bodoh dan terkebelakang, dan yang mudah untuk diperbodoh”.
Pembelaan tersebut tidak dapat membebaskan Soekarni dari hukuman 4 (empat) tahun penjara di Penjara Sukamiskin, Bandung. Sementara itu, Maskun, Gatot Mangunprojo, dan Supriadinata masing-masing dihukum 2 (dua) tahun, satu tahun depan bulan, dan satu tahun tiga bulan penjara.
Pimpinan PNI kemudian diambil alih oleh Mr. Sartono. Selanjutnya, demi alasan keselamatan, pada tahun 1931, pengurus besar PNI menyatakan pembubaran PNI. Pembubaran ini menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang mendukung pembubaran mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo) di bawah pimpinan Mr. Sartono. Sementara itu, mereka yang menolak pembubaran namun tetap ingin melestarikan nama PNI mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir.