Pusat pemerintahan Kerajaan Goa di Somba Opu dan sekaligus menjadi pelabuhan. Goa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan dan ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak istimewa.
Masyarkat Goa berpegang pada prinsip hidup “tanahku terbuka bagi semua, Tuhan menciptakan tanah dan laut, tanah dijadikannya untuk semua manusia, dan laut adalah milik bersama”. Dengan prinsip keterbukaan itu, Goa cepar berkembang.
Dalam jalur perdagangan internasional, Pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang strategis. Pelabuhan tersebut berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya. Dengan posisi yang strategis dan melihat perannya, VOC berusaha untuk menguasai Pelabuhan Somba Opu dan menerapkan monopoli perdagangan.
Untuk mewujudkan keinginan VOC harus menundukkan Kerajaan Goa. Pada tahun 1634 VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal. Hal tersebut karena perahu-perahu Makassar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah bergerak di antara pulau-pulau yang ada. Kemudian, kapal-kapal VOC merusak dan menangkap kapal-kapal pribumi maupun kapal asing yang lainnya.
Baca: Perlawanan Rakyat Maluku
Sultan hasanuddin ingin menghentikan VOC dan seluruh kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC yang ingin memaksakan monopoli perdagangan di Goa. Demikian juga sebaliknya, VOC mempersiapkan untuk menundukkan Goa. VOC mulai melancarkan politik devide et impera, misalnya dengan menjalin hubungan dengan seorang pangeran Bugis dari Bone yang bernama Aru Palaka. Selanjutnya, Gubernur Jenderal Maetsuyker (pimpinan VOC) memutuskan untuk menyerang Goa dan pada tanggal 7 Juli 1667 terjadilah Perang Goa.
Pasukan VOC dipimpin oleh Cornelis Janszoon Spelman dan diperkuat oleh pengikut Aru Palaka serta ditambah orang-orang Ambon yang dipimpin oleh Jonker van Manipa. Beberapa serangan VOC tersebut dapat ditahan oleh pasukan Hasanuddin, tetapi dengan pasukan gabungan dan senjata yang lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin.
Benteng pertahanan yang ada di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka dan hal itu menandai kemenangan pihak VOC atas Kerajaan Goa. Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Isi Perjanjian Bongaya
Berikut isi Perjanjian Bongaya,
- Goa harus mengakui hak monopoli VOC.
- Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Goa.
- Goa harus membayar biaya perang.
Sultan Hasanuddin tidak mau melaksanakan isi Perjanjian Bongaya karena isi perjanjian tersebut bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Goa atau Makassar. Sultan Hasanuddin pada tahun 1668 mencoba melawan VOC, tetapi dapat dipadamkan oleh VOC. Akhirnya dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin melaksanakan isi Perjanjian Bongaya. Bahkan, benteng pertahanan rakyat goa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman diberi nama Benteng Rotterdam.
Baca juga: Kerajaan Islam di Sulwesi
Nah, itulah dia artikel tentang perlawanan rakyat Goa terhadap VOC pada masa kolonialisme Barat. Demikian artikel yang dapat kami bagikan tentang sejarah Indonesia dalam bab kolonialisme dan semoga bermanfaat.