Mas Pur Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw!

Home » Sejarah » Perang Puputan Margarana (Latar Belakang, Penyebab, Akhir)

Perang Puputan Margarana (Latar Belakang, Penyebab, Akhir)

1 min read

Pertempuran Puputan Margarana – Pertempuran yang terjadi di Magarana yang terletak sebelah utara Kota Tabanan, Bali, ini dipicu oleh hasil Perundingan Linggarjati. Salah satu butir hasil perundingan tersebut menyatakan bahwa pengakuan secara de facto atas wilayah kekuasaan Indonesia hanya meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera. Selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto tersebut paling lambat tanggal 1 Januari 1946.

Dengan demikian, Bali tidak menjadi bagian dari Indonesia. Tidak masuknya daerah Bali sebagai bagian dari daerah teritorial Indonesia melukai hati rakyat Bali, yang kemudian memicu perlawanan.

Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946, Belanda mendaratkan kurang lebih 2.000 pasukannya di Bali. Belanda bermaksud menyatukan Bali dengan wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) lainnya. Pada saat yang sama, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen Sunda Kecil, sedang berada di Yogyakarta untuk melakukan konsultasi dengan markas besar TRI.

Untuk mencapai maksudnya tersebut, Belanda membujuk Kepada Divisi Sunda Kecil Letkol I Gusti Ngurah Rai agar bersedia diajak bekerja sama untuk membantuk NIT. Namun, Ngurah Rai menolak dengan tegas ajakan tersebut. Ia lebih memilih Indonesia sebagai tanah airnya. Ia pun bertekad melawan Belanda.

Peristiwa Pertempuran Puputan Margarana

Peristiwa Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukannya yang bernama Ciung Wanara untuk melucuti persenjataan polisi NICA yang menduduki Kota Tabanan. Perintah yang keluar sekitar pertengahan November 1946 tersebut baru terlaksana tiga hari kemudian, persisnya pada malam tanggal 19 November 1946. Pada hari tersebut, pasukan Ciung Wanara berhasil menguasai detasemen polisi NICA di Tabanan serta merebut puluhan senjata lengkap dengan altilerinya. Setelah itu, pasukan Ciung Wanara kembali ke Desa Adeng-Marga, Tabanan.

Peristiwa ini memicu amarah Belanda. Dua hari setelah peristiwa itu, yaitu pada tanggal 20 November 1946, Belanda mengerahkan seluruh pasukannya dari seluruh Bali dan Lombol dan mulai mengisolasi Desa Adeng-Marga. Belanda juga harus mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali dan Lombok ditambah pesawat pengebom dari Makassar untuk menghadapi pasukan Ngurah Rai.

Setelah matahari menyingsing, sekitar pukul 09.000 – 10.000 WIT, pasukan Ciung Wanara baru sadar bahwa mereka dalam posisi terkepung oleh serdadu Belanda. Mereka memilih tahanan, dan aksi tembak-menembak tak terelakkan.

Perang di Margarana ini juga dikenal dengan istilah Perang Puputan, yaitu perang yang dilakukan sampai dengan titik darah penghabisan. Kata puputan sendiri memiliki makna moral, karena dalam ajaran agama Hindu, kematian seorang prajurit dalam kondisi seperti itu akan menjadi sebuah kehormatan bagi keluarganya.

Demikianlah terjadi. Setelah pertempuran dengan semangat pantang menyerah sampai titik darah penghabisan,  Ngurah Rai dan 96 anggota pasukannya gugur. Di pihak Sekutu, kurang lebih 400 orang tewas.

Untuk mengenang peristiwa tersebut, kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Sementara itu, setiap tanggal 20 November juga diperingati sebagai hari perang Puputan Margarana.

Mas Pur Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *