Akhlak merupakan penentu keberhasilan dalam kehidupan manusia. Rasulullah saw. menegaskan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak yang baik akan menuntun manusia menuju surga sedangkan akhlak yang buruk akan menggiring manusia ke neraka.
Pengertian Mujahadah Nafs
Arti mujahadah menurut bahasa adalah perang, menurut aturan syara’ memerangi nafsu amarah dan memberi beban kepadanya, dan menurut istilah ahli hakikat adalah untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’ (agama). Sebagian ulama mengatakan mujahadah adalah tidak menuruti kehendak nafsu dan ada lagi yang mengatakan mujahadah adalah nafsu dari kesenangannya.
Dengan demikian, mujahadah merupakan tindakan perlawanan terhadap nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan perilaku buruk yang ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazim disebut dengan mujahadah an-nafs (pengendalian diri). Ujung dari keberhasilan mujahadah adalah munculnya kebiasaan dari shalikhin untuk menghiasi dirinya dengan zikrullah sebagai cara untuk membersihkan hatinya dan sebagai upaya untuk mencapai musyahadah (merasakan adanya kehadiran Allah Swt.)
Dalam kehidupan ini setiap manusia bertarung dengan dirinya sendiri. Pada suatu saat dia mampu menghadapi dirinya sendiri tetapi ada suatu waktu manusia tidak mampu menghadapi diri sendiri. Pertarungan manusia terhadap diri sendiri ini tidak akan berhenti sampai kematian menjemputnya.
Rasulullah saw., juga bersabda dalam sebuah hadis:
“Fitnah-fitnah itu menempel ke dalam hati seperti tikar (yang dianyam), sebatang-sebatang. Hati siapa yang mencintainya, niscaya timbul noktah hitam dalam dirinya. Dan hati siapa yang mengingkarinya, niscaya timbul noktah putih di dalamnya, sehingga menjadi dua hati (yang berbeda). (Yang satunya hati) hitam legam seperti cangkir yang terbalik, tidak mengetahui kebaikan, tidak pula mengingkari kemungkaran, kecuali yang dicintai oleh hawa nafsunya. (Yang satunya hati) putih, tak ada fitnah yang membahayakannya selama masih ada langit dan bumi.” (Diriwayatkan Muslim).
Beliau menyamakan hati yang sedikit demi sedikit karena fitnah dengan anyaman-anyaman tikar, yakni kekuatan yang merajutnya sedikit demi sedikit. Beliau membagi hati dalam menyikapi fitnah menjadi dua macam:
- Hati yang bila dihadapkan dengan fitnah serta merta mencintainya, seperti bunga karang menyerap air, sehingga timbullah noktah hitam di dalamnya. Demikianlah, ia terus menyerap setiap fitnah yang dihadapkan padanya, sampai hatinya menjadi hitam legam dan terbalik. Inilah makna sabda beliau “cangkir yang terbalik“. Jika hati telah hitam legam dan terbalik maka ia akan dihadapkan pada dua bencana dan penyakit yang membahayakannya serta melemparkannya pada kebinasaan. Ia memandang sesuatu yang baik sama dengan sesuatu yang buruk. Ia menjadi tidak tahu mana yang baik, tidak pula mengingkari kemungkaran. Bahkan mungkin karena sangat kronisnya penyakit ini, sehingga ia memercayai bahwa yang baik itulah yang mungkar dan yang mungkar. Itulah yang baik, yang haq adalah batil dan yang batil adalah haq. Kedua, ia menjadi hawa nafsu sebagai pedoman apa yang dibawa oleh Rasulullah saw., ia senantiasa tunduk dan mengikuti hawa nafsunya.
- Hati putih ang memancarkan cahaya iman, di dalamnya terdapat pelita yang menerangi. Jika fitnah dihadapkan padanya ia mengingkari dan menolaknya, sehingga hatinya pun menjadi makin bercahaya, memancarkan sinar dan makin kukuh.