Dipelopori para pemuda, bangsa Indonesia melucuti tentara-tentara Jepang, merebut persenjataannya, serta menguasai gedung-gedung penting yang dikuasai Jepang. Di Surabaya, misalnya, para pemuda merebut gudang mesiu, markas pertahanan, pangkalan angkatan laut di Ujung, serta pabrik-pabrik yang tersebar di berbagai kota.
Tujuan dilakukannya pelucutan persenjataan Jepang, diantaranya adalah untuk mendapatkan modal perang, mencegah senjata Jepang agar tidak jatuh ke tangan sekutu, dan mencegah agar senjata Jepang tidak digunakan untuk membunuh Rakyat. Pelucutan senjata dari para tentara Jepang tidak dilakukan di satu tempat saya melainkan di seluruh kota di Indonesia yang menjadi pusat jajahan Jepang dulu. Tindakan heroik ini dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Berikut diantaranya.
1. Pelucutan Senjata Jepang di Surabaya
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 19 September 1945. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh tindakan orang-orang Belanda yang sebelumnya menjadi bekas Jepang menduduki Hotel Yamato (Surabay) serta mengibarkan bendera Belanda yang bewarna merah, putih, dan biru di puncak hotel tersebut. Tindakan ini dibantu oleh sekelompok tentara sekutu..
Rakyat Surabaya yang menyaksikan berkibarnya bendera tersebut geram. Maka, untuk menghindari konflik, residen Sudirman meminta orang-orang Belanda untuk menurunkan bendera tersebut. Akan tetapi permintaan tersebut ditolak.
Para pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut. Dua orang pemuda bahkan berhasil naik ke puncak hotel dan menurunkan bendera. Setelah itu, bagian biru bendera tersebut dirobek sehingga yang tersisa adalah bendera bewarna merah dan putih. Bendera merah-putih tersebut dikibarkan ditempat yang sama.
Tidak hanya sampai disitu, para pejuang ini kemudian merebut kompleks penyimpanan senjata dan pemancar radio di Embong, Malang. Dan pada tanggal 1 Oktober 1945, rakyat merebut Markas Kempetai (polisi rahasia) yang dianggap sebagai lambang kekejaman Jepang.
2. Pelucutan Senjata Jepang di Yogyakarta
Di kota ini, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945. Diawali dengan pemogokan dari semua pegawai pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang. Mereka memaksa Jepang untuk menyerahkan semua kantor dan perusahaan tersebut kepada pemerintah Republik Indonesia.
Sementara itu, para pemuda yang bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) berusaha melucuti senjata dari para tentara Jepang dengan menyerbu tangsi Otsuka Butai di Kota Baru. Meskipun berhasil menguasai tangsi tersebut, beberapa pemuda gugur, di antaranya A.M. Sangaji dan Faridan M. Noto
3. Pelucutan Senjata Jepang di Banda Aceh
Pada tanggal 6 Oktober 1945, para pemuda Banda Aceh dan para tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Pada tanggal 12 Oktober 1945, pimpinan tentara Jepang memanggil para API. Dalam pertemuan tersebut, pimpinan tentara Jepang menyatakan bahwa, meskipun Jepang telah kalah, keamanan masih menjadi tanggung jawab mereka sampai datangnya tentara sekutu ke Indonesia. Oleh karena itu, Jepang menegaskan bahwa semua kegiatan mendirikan perkumpulan apalagi tanpa izin harus dihentikan, sedangkan yang sudah terlanjur didirikan harus dibubarkan.
Namun, para tokoh dan para pemuda menolak hal tersebut sehingga terjadilah bentrokan yang terus melebar ke tempat-tempat lain seperti di Langsa, Lho’Nga, Ulee Lheue, dan lain-lain. Para pemuda mengambil alih kantor-kantor pemerintahan Jepang, melucuti senjatanya serta mengibarkan bendera merah-putih.
4. Pelucutan Senjata Jepang di Sumatera Selatan
Perebutan kekuasaan di Sumatera Selatan terjadi pada tanggal 8 Oktober 1945. Peristiwa tersebut berawal ketika residen Sumatera Selatan dr. Abdul Karim Gani bersama seluruh pegawai pemerintahan melakukan upacara dengan mengibarkan bendera merah-putih. Diumumkan juga dalam upacara itu bahwa mulai saat itu, seluruh Karesidenan Palembang hanya akan tunduk kepada pemerintah Republik Indonesia. Perebutan kekuasaan di Palembang tidak menimbulkan korban karena orang-orang Jepang di wilayah ini bersikap menghindari pertumpahan darah.
5. Pelucutan Senjata Jepang di Semarang
Peristiwa ini lebih dikenal dengan “Pertempuran Lima Hari Semarang” karena berlangsung selama 5 hari, yaitu pada tanggal 14-20 Oktober 1945. Pertempuran ini berawal ketika para pemuda membawa sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring menuju Penjara Bulu di Semarang. Sebelum sampai di penjara tersebut, sebagian tawanan melarikan diri dan meminta perlindungan ke Batalyon Kidobutai di Jatingaleh (Jawa Tengah).
Tidak lama kemudian muncul desas-desus yang meresahkan penduduk bahwa Jepang telah meracuni cadangan air minum penduduk di Candi. Untuk membuktikan hal tersebut, dr. Karyadi sebagai kepala laboratorium pusat melakukan pemeriksaan. Saat sedang memeriksa sumber air tersebut, ia ditembak mati oleh tentara Jepang. Saat ini, namanya diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit terkenal di Kota Semarang.
Peristiwa ini memicu kemarahan pada pemuda. Pada tanggal 14 Oktober, mereka menyerbu kantor-kantor pemerintah serta menangkap dan menawan setiap orang Jepang yang mereka jumpai. Jepang membalas keesokan harinya. Keluar dari tangsi mereka di Jatingaleh, Jepang mencari dan menyerang pos-pos para pemuda. Pertempuran berlangsung selama 5 hari, yaitu sejak tanggal 15-20 Oktober. Korban tewas berjatuhan dari kedua belah pihak adalah 2.000 rakyat semarang dan 100 orang Jepang.
Pertempuran baru berakhir ketika pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) berunding dengan pasukan Jepang. Upaya perdamaian berhasil dipercepat setelah pasukan Sekutu (Inggri) mendarat di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Pasukan Sekutu menawan serta melucuti senjata Jepang.
Monumen Tugu Muda di Semarang yang berdiri saat ini dimaksudkan untuk mengenang tindakan heroik para pemuda Indonesia melawan Jepang.
6. Pelucutan Senjata Jepang di Kalimantan
Di kalimantan, dukungan Proklamasi Kemerdekaan dilakukan dengan mengibarkan bendera merah-putih serta mengadakan rapat-rapat. Pada tanggal 14 November 1945, sekitar 8.000 orang dengan gagah berani berkumpul di komplek NICA sambil mengarak bendera merah-putih.
7. Pelucutan Senjata Jepang di Sulawesi
Para pemuda mendukung gubernur Sulawesi, Dr. Sam Ratulangi dengan merebut gedung-gedung vital dari tangan polisi Jepang. Di Gorontalo, misalnya, pada pemuda berhasil merebut senjata dari markas-markas Jepang pada tanggal 13 September 1945.
8. Pelucutan Senjata Jepang di Sumbawa
Pada bulan Desember 1945, rakyat Sumbawa berusaha merebut pos-pos militer Jepang di Gempe, Sape, dan Raba. Pada tanggal 13 Desember, para pemuda serentak menyerang pos-pos tersebut.