Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal kemunculanya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berangsa dan bernegara.
Setelah Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan kekuasaan atas status quo. Hal ini menimbulkan akses-akses negatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya, penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945 banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Berikut ini adalah beberapa hal yang menyebabkan timbulnya reformasi dari berbagai bidang, kita mulai dari krisis bidang politik.
Krisis Politik Pada Masa Pemerintahan Orde Baru
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang oleh para penguasa. Pasal 2 UUD 1945 telah menyebutkan bahwa “Kedaulatan adalah di tangan raktay dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara dde facto (dalam kenyataan) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintahan, DPR, dan MPR. Ketidakpercayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dan MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaruan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, yaitu sebagai berikut.
- UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum (Pemilu)
- UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR.
- UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik, dan Golongan Karya.
- UU No. 4 Tahun 1985 tentang Referendum.
- UU No. 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi dan pembangnan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mampu menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, melainkan masyarakat menuntut adanya reformasi baik di dalam kehidupan masyarakat maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakukan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat juga menuntut agar ditetapkan tentang pembatasan masa jabatan presiden.
Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu munculnya kerusuhan baru, yaitu konflik antaragama dan etnik berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang masih banyak memakan korban jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak, Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi dukungan terdapat pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Adapun di kalangan masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai presiden. Dalam sidang umum MPR bulan Maret 1998, Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden Republik Indonesia dan B.J Habibie sebagai Wakil Presiden. Hal ini menimbulkan tekanan terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto yang datang dari para mahasiswa dan kalangan intelektual.