Pulau Sumatera menjadi salah satu pulau yang terdapat banyak kerajaan bercorak Islam. Mulai dari Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Perlak, Kerajaan Aceh, dan Kerajaan Malaka. Namun selain itu, kerajaan di Sumatera terutama Sumatera Selatan dan Sumatera Barat juga terdapat kerajaan bercorak Islam lainnya.
Kerajaan Islam yang berada di Sumatera Selatan yang bercorak Islam adalah Kerajaan Palembang, sedangkan Kerajaan di Sumatera Barat adalah Kerajaan Minangkabau. Selain itu, Kerajaan Islam lainnya juga ada di Riau, dan Jambi. Nah, berikut ini adalah kerajaan-kerajaan tersebut.
Daftar Isi
Kerajaan Islam di Riau
Menurut berita Tome Pires yaitu penjelajahan pedagang Portugis. Kerajaan Islam di Riau dan Kepulauan Riau diantaranya Kerajaan Siak Indrapura, Kampar, dan Indragiri.
1. Kerajaan Siak Sri Inderapura
Pada masa pemerintahan Sultan Said Ali (1784-1811) banyak berjasa bagi rakyat. Sultan Said Ali berhasil memakmurkan kerajaan dan beliau dikenal sebagai sultan yang jujur. Daerah-daerah yang dahulu melepaskan diri dari Kerajaan Siak, berhasil dikuasai oleh Sultan Said Ali. Pada tahun 1811, Sultan Said Ali mengundurkan diri sebagai sultan dan diganti oleh putranya yang bernama Teungku Ibrahim.
Pada masa pemerintahan Teungku Ibrahim, Kerajaan Siak Sri Inderapura mengalami kemunduran hingga banyak orang yang pindah ke Bintan, Lingga Tambelan, Terengganu, dan Pontianak. Selain itu juga adanya perjanjian dengan VOC pada tahun 1822 di Bukit Batu. Isi perjanjian adalah menekankan Kerajaan Siak Sri Inderapura tidak boleh mengadakan ikatan atau perjanjian dengan negara lain kecuali dengan Belanda.
2. Kerajaan Kampar
Sejak abad ke-15 Kerajaan Kampar berada di bawah kekuasaan Kerajaan Malaka. Pada masa pemerintahan Sultan Abdullah, Kerajaan Kampar tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan (Selaku pemegang kekuasaan Kemaharajaan Malayu). Akibat hal tersebut, Sultan Mahmud Syah I mengirimkan pasukannya ke Kampar.
Untuk menghadapi serangan , Sultan Abdullah minta bantuan Portugis dan Kampar berhasil dipertahankan. Pada waktu Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, Kerajaan Kampar di bawah pembesar kerajaan (Mangkubumi Tun Perkasa). Mangkubumi Tun Perkasa, kemudian mengirimkan utusan ke Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Syah I yang memohon agar Kampar ditempatkan raja.
Maka, dikirimkan seorang pembesar Kemaharajaan Melayu, Raja Abdurrahman yang bergelar Maharaja Dinda I. Setelah Maharaja Dinda I diganti Maharaja Dinda II, pad atahun 1725 Maharaja Dinda II memindahkan ibu kota Kerajaan Kampar ke Pelalawan yang kemudian mengganti Kerajaan Kampar menjadi Kerajaan Pelalawan.
3. Kerajaan Indragiri
Sebelum tahun 1641, Kerajaan Indragiri yang berada di bawah Kemaharajaan Melayu berhubungan erat dengan Portugis. Namun, setelaj Malaka diduduki VOC, Kerajaan Indragiri mulai berhubungan dengan VOC. Pada tahun 1765, Sultan Hasan Salahuddin Kramat Syah memindahkan ibu kota ke Japura. Namun, pada tanggal 5 Januari 1815 dipindahkan lagi ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Adanya Tractat van Vrede en Vriend-Schap pada tanggal 27 September 1838 antara Kerajaan Indragiri dan Belanda menyebabkan kekuasaan politik Kerajaan Indragiri hilang.
Kerajaan Islam di Jambi
Kerajaan Islam di Jambi adalah Kesultanan Jambi. Menurut temuan arkeologis, kehadiran Islam di daerah Jambi diperkirakan dimulai sejak abad ke-9 atau abad ke-10 sampai abad ke-13. Pada masa itu kemungkinan proses islamisasi masih terbatas pada perseorangan. Adapun proses islamisasi secara besar-besaran bersamaan tumbuh dan berkembangnya kerajaan Islam di Jambi sekitar tahun 1500 M di bawah pemerintahan Orang Kayo Hitam yang juga meluaskan “Bangsa XII” dari “Bangsa IX” (anak Datuk Berhala).
Menurut Undang-Undang Jambi, Datuk Paduka berhala adalah orang dari Turki yang terdampak di Pulau Berhala yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahmad Salim. Datuk Paduka Berhala menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah muslim (turunan raja-raja Pagaruyung yang kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yang terkenal).
Pengganti Datuk Paduka Berhala adalah Orang Kayo Hitam yang beristri salah seorang putri dari saudara ibunya yaitu Putri Panjang Rambut. Adapun pengganti Orang Kayo Hitam adalah Panembahan Ilang di Aer yang setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas. Beliau terkenal pula dengan nama Panembahan Rantau Kapas.
Masa pemerintahan Datuk Berhala beserta Putri Pinang Masak sekitar tahun 1460. Orang Kayo Pingai sekitar tahun 1480, dan Orang Kayo Pedataran sekitar tahun 1490. Adapun masa pemerintahan Orang Kayo Hitam sendiri sekitar tahun 1500 sampai 1540, Panambahan Rantau Kapas sekitar tahun 1 500-1540 M, dan Panembahan Bawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1565. Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal, pemerintahan digantikan oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun 1590, kemudian diganti lagi oleh Pangeran Keda yang bergelar Sultan Abdul Kahar pada tahun 1615.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar, VOC mulai datang untuk menjalin hubungan perdagangan. VOC membeli hasil bumi Kerajaan Jambi lada. Pada tahun 1616, dengan izin sultan Jambi VOC mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Namun, beberapa tahun kemudian loji ditinggalkan karena rakyat Jambi tidak mau menjual hasil buminya kepada VOC. Sejak itulah hubungan Kerajaan Jambi dengan VOC menjadi renggang. Pada tahun 1614 Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemen menuduh Jambi bekerja sama dengan Mataram.
Kerajaan Islam di Sumatera Selatan
Kerajaan Islam di Sumatera Selatan adalah Kesultanan Palembang. Sultan pertama Kesultanan Palembang adalah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/Kiai Mas Endi (1659-1706). Adapun sultan terakhir Kesultanan Palembang adalah Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1925).
Kontak Pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada tahun 1610. Namun, karena kepentingan VOC tidak dipedulikan sering terjadi kerenggangan. Pada tahun 1658, walil dagang VOC Ockersz dan pasukannya dibunuh dan dua kapalnya (Wachter dan Jacatra) dirampas. Akibat dari hal tersebut pada tanggal 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang, Kuta, dan permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab, serta bangsa lain yang berada di seberang dibakar.
Selanjutnya, kota Palembang dapat direbut kembali dan dilakukan pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga sekarang dapat disaksikan walaupun sudah ada beberapa perubahan. Masjid Agung Palembang mulai dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).
Sejak pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II, Kesultanan Palembang mendapat serangan dari pasukan Hindia-Belanda (Perang Menteng). Serangan pasukan Belanda yang dipimpin J.C. Wolterboek yang terjadi pada tahun 1819 dapat dikalahkan oleh prajurit Kesultanan Palembang. Namun, Belanda menyerang lagi pada juni 1821 dipimpin Jenderal de Kock. Sultan Mahmud II ditangkap dan dibuang ke Ternate. Sejak Tanggal 7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapus dan kekuasaan daerah Palembang berada langsung di bawah pemerintahan Hindia-Belanda.
Kerajaan Islam di Sumatera Barat
Keraan Islam di Sumatera Barat adalah Kerajaan Pagaruyung yang meliputi wilayah Sumatra Barat. Menurut Tome Pires, di Kerajaan Pagaruyung atau Kerajaan Minangkabau ada tiga raja, yaitu raja adat untuk adat, raja ibadat untuk keagamaan, dan raja alam untuk urusan sehari-hari. Kerajaan Pagaruyung menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti emas, sutra, damar, lilin, madu, kampar, dan kapur barus.
Pad abad ke-6 sampai ke-9, kehidupan di daerah Minangkabau antara kaum adat ulama (padri) terlihat damai. Namun, dalam perkembangan selanjutnya kehidupan masyarakat Minangkabau dan para pembesarnya mulai melakukan kebiasaan yang kurang baik, seperti berjudi dan sabung ayam.
Adanya kebiasaan tersebut, membuat kaum padri mengutuk dan mengancam Sultan alam Muning syah (Sultan Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung). Dalam suatu pertemuan, tiba-tiba memanas dan terjadi pertempuran. Dalam pertempuran itu pihak kerajaan mengalami kekalahan. Kekalahan pihak kerajaan tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk berpura-pura menawarkan bantuan pada pihak kerajaan.
Dengan masuknya pengaruh Belanda tersebut, raja kerajaan diganti dengan Sultan Alam Banggar Syah (raja kecil di Tanah Datar). Pada tahun 1837, salah seorang pemimpin padri (Tuanku Imam Bonjol) ditangkap dan dibuang ke Cianjur, kemudian ke Minahasa. Dengan tertangkapnya Tuangku Imam Bonjol, daerah Minangkabau menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Nah, itulah kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat. Demikian artikel yang bisa freedomsiana.id bagikan mengenai kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dan semoga bermanfaat. Baca juga: Kerajaan Samudera Pasai