KebijakanDampak pendudukan Jepang dalam bidang ekonomi tidak berbeda dengan negara-negara imperalis lainnya. Itu karena dengan semboyan “Negara Makmur, Militer Kuat”, Jepang bermaksud menjadikan Indonesia sebagai salah satu basis bagi kepentingan militer sekaligus industri-industrinya. Untuk itu Jepang mengendalikan sepenuhnya seluruh aktivitas perekonomian. Terjadi eksploitasi segala sumber daya, seperti sandang, pangan, logam, dan minyak demi kepentingan perang. Hal itu tampak dalam kebijakan-kebijakan jepang selama di Indonesia.
Daftar Isi
Menyita aset-aset ekonomi penting
Jepang menyita seluruh hasil perkebunan (teh, kopi, karet, tebu), pabrik, bank, dan perusahaan-perusahaan yang penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkalai karena kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Hal itu menjadi penyebab terjadinya krisis pangan, kemiskinan, serta kelaparan di kalangan rakyat.
Melakukan pengawasan yang ketat dalam bidang ekonomi
Jepang juga menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang. Pengendalian harga dimaksudkan untuk mencegah meningkatnya harga barang.
Kebijakan self-sufficiency
Agar tidak memberi beban kepada pemerintah, Jepang menerapkan kebijakan self-sufficiency. Maksud dari kebijakan ini adalah bahwa wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaannya (Jepang) harus dapat memenuhi kebutuhan sendiri. Dampak negatif dari kebijakan ini adalah terputusnya hubungan ekonomi antardaerah.
Setoran wajib, romusha, merosotnya produksi pangan dan kelaparan
Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak sehingga tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya, pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah. Jepang mengharuskan rakyat menyerahkan bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lambung desa, dan hanya 40% menjadi hak pemiliknya.
Sistem ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit, gairah kerja menurun, kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah melanda hampir di setiap desa di Pulau Jawa. Di Wonosobo (Jawa Tengah), misalnya, angka kematian 53,7% , dan di Purworejo (Jawa Tengah) mencapai 224,7%. Kondisi ini membuat sebagian rakyat terpaksa makan makanan yang tidak biasa, seperti keladi gatal talas), bekicot, dan umbi-umbian hutan.
Baca: Kebijakan Jepang di Indonesia Dalam Bidang Politik
Hal itu diperparah dengan kewajiban kerja paksa (Romusha) bagi banyak tenaga kerja usia produktif, yang mengakibatkan produksi pangan terutama beras merosot drastis. Kemiskinan pun merebak di mana-mana. Penyakit akibat kekuarangan makanan, seperti beri-beri dan busung lapar merajalela. Selain pangan, banyak warga juga mengalami kekurangan sandang. Hal itu diperparah dengan dicetaknya uang penduduk secara besar-besaran yang membuat inflasi menjadi tak terkendali. Sendi-sendri kehidupan rakyat benar-benar lumpuh.
Untuk mengatasi situasi ini, Jepang mendirikan Kumoyai, yaitu koperasi yang bertujuan untuk kepentingan bersama, dan juga memperkenalkan suatu sistem baru bagi pertanian yang disebut line system, yaitu sistem pengaturan bercocok tanam secara efisien, yang bertujuan meningkatkan produksi pangan. Namun, nyatanya perekonomian rakyat Indonesia tetap buruk.