Jepang yang mengambil kekuasaan Belanda atas Indonesia, selama itu telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang memiliki dampak atau pengaruh bagi kehidupan rakyat bangsa Indonesia. Kebijakan yang dilakukan oleh Jepang diantaranya adalah kebijakan dalam bidang politik, kebijakan dalam bidang ekonomi, dan sosial-budaya serta kebudayaan. Kebijakan-kebijakan dari Jepang tersebut tentunya memiliki dampak yang bersifat negatif dan juga positif, namun pada kenyataanya dampak negatifnya lebih besar. Berikut kebijakan dan dampak pendudukan Jepang di Indonesia dalam bidang sosial-budaya dan kebudayaan.
Kebijakan dan Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia Bidang Sosial-Budaya
Romusha. Selain perekonomian rakyat habis digunakan untuk kepentingan perang, pengerahan tenaga kerja melalui Romusha semakin menyebabkan sawah-sawah dan tanah-tanah pertanian kehilangan tenaga potensialnya. Mereka dimobilisasi tidak saja untuk bekerja membangun sarana-sarana perang yang ada di Indonesia, tetapi juga dikerjapaksanakan di luar negeri, seperti di Burma (Myanmar), Muangthai (Thailand), Vietnam, dan Malaysia. Perlakukan terhadap para romusha sangat buruk. Banyak dari antara mereka tidak kembali lagi ke kampaung halamannya karena meninggal dunia.
Jugun ianfu. Selain pengerahan romusha, pemerintah Jepang juga merekrut para perempuan dari berbagai negara Asia, seperti Indonesia, Korea, dan Cina untuk dijadikan perempuan penghibur bagi tentara Jepang atau jugun ianfu. Diperkirakan, selama berkecamuknya perang Pasifik, Jepang telah memaksa sekitar 200.000 perempuan Asia menjadi jugun ianfu. Perempuan-perempuan ini awalnya dijanjikan pekerjaan sebagai guru, perawat, atau disekolahkan di luar negeri, namun kenyataannya dipekerjakan sebagai perempuan penghibur.
Pendidikan. Hal ini terkait dengan bidang sosial adalah pendidikan. Pada masa pendudukan Jepang, kondidi pendidikandi tanah air berlangsung lebih buruk dibandingkan dengan masa pemerintahan Hindia-Belanda, Jumlah sekolah menurun drastis. Beberapa kegiatan pendidikan di perguruan tinggi sempat berhenti selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1943, kegiatan pendidikan di perguruan tinggi dibuka kembali, seperti perguruan tinggi ilmu kedokteran (Ika Daigaku) dan perguruan tinggi teknik (Kogyo Daigaku), dua-duanya terletak di Bandung.
Sistem pembelajaran dan kurikulum sekolah ditujukan bagi kepentingan perang. Para pelajar diberikan slogan Hakko Ichiu (yang secara harfiah berarti Delapan Penjuru Dunia di Bawah Satu Atap). Hakko Ichiu dipakai sebagai salah satu slogan untuk mewujudkan tatanan baru Asia Timur. Dalam kamus besar bahasa Jepang zaman sekarang, Hakko Ichiu dijelaskan sebagai “slogan” yang dipakai sebagai pembenaran agresi Jepang ke luar negeri selama Perang Dunia II.
Agar sampai ke para pelajar, Jepang terlebuh dahulu mengindoktrinasi para calon guru dengan doktrin atau slogan itu. Para peserta pelatihan diambil dari tiap-tiap daerah/kabupaten. Krisis dalam bidang pendidikan diperparah oleh kenyataan bahwa banyak guru dipekerjakan sebagai pejabat pada pemerintahan Jepang, yang mengakibatkan kemunduran tajam dalam hal mutu pendidikan.
Bahasa dan stratifikasi sosial. Meski demikian , setidaknya ada dua hal positif Jepang dalam bidang sosial-budaya. Pertama, dalam pendidikan, Jepang mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia sebagai kata pengantar. Bahasa Indonesia juga dijadikan mata pelajaran wajib. Bahasa Indonesia pun mengalami perkembangan atau kemajuan yang pesat.
Kedua, sistem stratifikasi sosial menempatkan golongan Bumiputera di atas golongan Eropa dan golongan Timur Asing, kecuali Jepang. Sebabnya, Jepang ingin mengambil hati rakyat Indonesia untuk membantu mereka dalam perang Asia Timur Raya.
Kebijakan dan Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia Bidang Kebudayaan
Sebagai negaras fasis, Jepang mendidik warga negaranya dengan keras dan disiplin tinggi. Jepang sangat menghormati kaisarnya, yang mereka yakini sebagai keturunan Dewa Matahari. Itulah latar belakang kebiasaan mereka memberi hormat ke arah matahari terbit dengan cara membungkukkan punggung dalam-dalam, yang disbeut dengan Seikerei, sebagai simbol penghormatan terhadap kaisar.
Pemaksaan kebiasaan seperti ini di negara-negara lain, termasuk Indonesia, menjadi salah satu alasan pecahnya pemberontakan oleh kalangan pesantren di Tasikmalaya (Jawa Barat) pada tahun 1944. Pengaruh Jepang di bidang kebudayaan lebih banyak dalam lagu-lagu, film, drama yang seringkali dipakai untuk propaganda. Banyak lagu Indonesia diangkat dari lagu Jepang yang populer pada zaman Jepang.
Pemerintah Jepang juga mendirikan sebuah pusat kebudayaan yang diberi nama Keimin Bunkei Shidoso. Pusat kebudayaan tersebut menjadi wadah bagi perkembangan kesenian bangsa Indonesia. Akan tetapi, lembaga ini juga digunakan oleh pemerintah Jepang untuk mengawasi dan mengarahkan kegiatan para seniman agar karya-karyanya tidak menyimpang dari kepentingan Jepang.
Sementara itu, buku-buku dan karya-karya sastra yang sejalan dengan propaganda dibiarkan berkembang, seperti Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar, Palawija karangan Karim Halim, dan Angin fuji karangan Usmar Ismail. Sebaliknya, karya-karya sastra yang dianggap bertentangan dengan kepentingan Jepang dilarang beredar dan penulisannya dimasukkan ke dalam penjara. Contoh karya sastra yang dibredel Jepang adalah Siap Sedia karangan Chairil Anwar.
Pembatasan yang sama juga berlaku untuk pers. Pada zaman Jepang, tidak ada pers yang independen, semuanya berada di bawah pengawasan Jepang.